Sistem penuntutan negara Oportunitas dan Legalitas


PENUNTUTAN
Inisiatif penuntutan :Perseorangan Lembaga Penuntut Umum (Perancis)
UU Nomor 16 / 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Tugas dan Wewenang Jaksa
Wewenang PU Pasal 14 KUHAP
Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan :
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undangundang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Di bidang perdata dan
tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik
di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum,
kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum
c. pengawasan peredaran barang cetakan
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara
e. pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Surat Dakwaan
Setelah penyidikan dianggap selsai jaksa membuat SD (Psl 40 KUHAP).
SD menjadi dasar dan menentukan batas2 pemeriksaan hakim.
Litis Contestatio 1
Syarat2 dakwaan : (143 KUHAP)
1. Syarat formil (memuat identitas tersangka). Harus disebut : nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tgl lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
Tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
2. Syarat Materiil (berisi uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai
Tindak Pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu dan tempat
Tindak Pidana.
 mengandung lukisan dr apa yg senyatanya terjadi;
 harus nyata pula lukisan unsur yuridis dari Tindak Pidana (uraian
delik).
Apabila tdk memenuhi maka terdapat alasan pembatalan.
Ada 2 macam pembatalan :
a. pembatalan formil (pembatalan yang disebabkan krn Surat Dakwaan
tidak memenuhi syarat2 yang ditentukan oleh UU)
b. pembatalan hakiki (pembatalan menurut penilaian hakim m/ obscuur
libel). Uraian delik, umumnya harus dinyatakan mengenai : perbuatan yg
tlh dilakukan, bagaimana caranya, upaya apa untuk melakukan,
bagaimana sifat korban, obyeknya apa dsb.
Macam SD
1. Dakwaan Tunggal
Terdakwa hanya didakwa dg satu perbutan saja, tanpa diikuti dg dakwaan
lain/ tanpa alternatif lain.
2. Dakwaan Alternatif
Secara faktual, tersangka didakwa melakukan lebih dari 1 Tindak Pidana,
tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa 1 Tindak Pidana saja. Antara 1
dakwaan dengan dakwaan berikutnya saling mengecualikan. pembuktian
dakwaan lain.
3. Dakwaan Subsider
Hampir sama dengan Surat Dakwaan Alternatif, tetapi ia didakwa secara
urut berjenjang mulai dari yg paling berat ke yg paling ringan. Apabila
sudah terbukti Tindak pidana, maka tdk perlu dilanjutkan pada jenjang
berikutnya.
4. Dakwaan Kumulatif
Tersangka didakwa lebih dari 1 Tindak pidana, dan masing2 Tindak
pidana harus dibuktikan, karena merupakan Tindak pidana yg berdiri
sendiri. Hakim hrs memeriksa dakwaan satu persatu.
5. Dakwaan Campuran
Merupakan bentuk gabungan antara Kumulatif dan alternatif atau
subsider.
Voeging dan Splitsing
Perkara dapat digabungkan dalam hal : (Psl 141 KUHAP)
a. bebrp TP yg dilakk o/ orang yg sama dan kepentingan pemeriksaan tdk
ada halangan penggabungan.
b. Beberapa TP yg bersangkut paut dengan lainnya.
c. Meskipun tdk bersangkut paut, tetapi satu sama lain terdapat
hubungan.
TP dianggap bersangkut paut apabila TP itu dilakukan oleh:
a. lebih dr 1 orang yg bekerjasama, dan pd saat bersamaan.
b. Lebih dr seorang pd tempat yg berbeda, tetapi mrp hsil permufakatan.
c. Seorang/lebih dr seorang dg maksud mendapatkan alat yg akan
dipergunakan melakukan Tindak Pidana lain atau untuk menghindarkan
diri.
Voeging juga bs diartikan penggabungan gugatan perdata pada perkara
pidana, yaitu apabila suatu TP tsb menimbulkan kerugian bg orang lain.
Gugatan ini diajukan paling lambat sebelum PU mengajukan requisitoir
(Psl 98 (2) KUHAP). Dlm perkara yg tdk ada JPU (mis/ perkara rol), maka
tuntutan perdata diajukan paling lambat sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Gugatan ini menjadi tetap, apabila putusan pidananya telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Gugatan perdata tdk dapt dimintakan banding
apabila terhadap perkara pidananya tdk diajukan banding. Splitsing mrp
kebalikan dari voeging. Apabila PU menerima satu berkas yg memuat
beberapa TP yg dilakukan beberapa orang tersangka. (Psal 142 KUHAP).
Perbedaan antara pengesampingan perkara dan Penghentian penuntutan
Permasalahan Penghentian Penuntutan Pengesampingan Perkara
Pejabat yang berwenang PU Jaksa Agung
Dasar Hukum Psl 14 Jo. 140 (2)
KUHAP Psl 35 UU 16/2004
Alasan Tdk ckp bukti, bukan TP,
atau dihentikan demi Hk Demi kepentingan umum
Konsekwensi Ada ganti kerugian Tidak perlu
Tuntutan Masih bs dituntut lagi di
kemudian hr bila ada
bukti baru Tidak dapat dituntut lagi
Bentuk surat Ketetapan dr PU
Kajari Keput Jaksa Agung
PENGERTIAN
Asas legalitas adalah asas yang tiap perbuatan pidana harus dituntut
(nullum crimen sine poena legali). Di dalam negara hukum, setiap aspek
tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam
lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak
dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan
atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van
bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya
dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak
akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet
integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham
kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar,
yang sifat hakikatnya konstitutif. Asas legalitas bukan saja harus
tercantum dalam hukum pidana materiel, tetapi juga dalam hukum
pidana formil, artinya tidak ada proses acara yang berjalan di luar jalur
undang-undang yang berlaku. Seharusnya asas legalitas merupakan suatu
safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi
manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman
terhadap seseorang.
Asas oportunitas, Yaitu suatu asas yang memberikan hak, baik kepada
kepolisian maupun kejaksaan, untuk kepentingan umum dan sangat
perlu, dapat mengesampingkan suatu perkara. Dengan asas dimaksud
perkara tersebut tidak sampai pada tahap penuntutan oleh kejaksaan.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah, dalam batasan “apa” dan
“bagaimana” suatu perkara dapat diklasifikasikan sebagai perkara yang
mengandung kepentingan umum.
Kepentingan Umum
Sebenarnya seluruh pejabat penegak hukum yang ada di Republik ini
sudah tahu tentang batasan “apa” dan “bagaimana” suatu perkara. Suatu
perkara yang pernah ditangani setiap institusi banyak perkara yang
dihentikan penyidikan atau penuntutannya karena prinsip asas
oportunitas. Contoh perkaranya :
Terkait kasusnya Soeharto adalah suatu masalah yang pelik. Namun,
dengan kondisi Soeharto yang demikian, tidaklah mungkin ia dapat di
dudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Sebab, bagaimanapun
kejamnya hukum pidana, ia masih bersifat manusiawi. Selain itu, dalam
standar universal peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia, seseorang yang sedang sakit berat tidak mungkin dihadapkan di
persidangan.
kasus Soeharto sebagaimana diusulkan sebagian orang, sulit menemukan
alasan tepat untuk mengesampingkan penuntutan terhadap Soeharto.
Secara garis besar hanya dapat dilakukan dengan 3 kemungkinan. Apakah
dengan menghentikan penuntutan, menutup perkara demi kepentingan
hukum, atau dengan menggunakan asas oportunitas
Pertama, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan jika perkara itu
kurang bukti atau bukan perkara pidana. Dalam kasus Soeharto, perkara
telah dilimpahkan ke pengadilan. Artinya dari sudut pandang jaksa
penuntut umum, perkara memiliki bukti memadai untuk membuktikan
dakwaan terhadap Soeharto.
Kedua, menutup perkara demi hukum hanya jika terjadi nebis in idem,
perkara itu kedaluwarsa atau terdakwa meninggal dunia. Lalu keadilan
masyarakat dikorbankan dan kesungguhan pemerintah memberantas
korupsi, kolusi dan nepotisme seperti tertuang dalam Tap MPR XI/
MPR/1998 patut dipertanyakan.
Dan kemungkinan ketiga adalah menggunakan asas oportunitas, yaitu
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks
hukum acara pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari
asas legalitas yang berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut (nullum
crimen sine poena legali).
Memang, dalam praktik, asas oportunitas ini seringkali diselewengkan
untuk sekadar mendapatkan uang sogokan atau uang pungli. Namun,
tentunya kita tidak boleh berburuk sangka. Kita masih yakin di negeri
tercinta ini tetap ada aparat penegak hukum yang bersih dan berhati
nurani.
Sebenarnya kita ini penganut ajaran Durheim. Maksudnya, kerusakan
yang terjadi disuatu institusi bukanlah disebabkan oleh kerusakan sistem,
tapi lebih dikarenakan kerusakan moral aparaturnya. Ada oknum yang
melakukannya. Sebab itulah, kalau kita melihat ada kerusakan pada
institusi penegakan hukum, maka kerusakan itu semata dilakukan oleh
oknum. Bukan oleh institusi itu sendiri. Dan, kerusakan seorang oknum
tidak lantas kemudian menyebabkan sebuah institusi secara keseluruhan
menjadi ikut rusak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis swot terhadap peran serta mahasiswa dalam menanggulangi ancaman human trafficking

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH MELALUI KEMITRAAN SELURUH STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANDUNG

Asas Hukum Agraria