Perubahan Paradigmatis Pemerintahan Desa

Terlepas dari sejumlah langkah maju pengaturan saat ini, sejatinya arah
politik legislasi mengenai desa tidak berbasis pada perubahan
paradigmatis. Berbagai norma dan klausul penting dalam UU No.22/1999
(beserta PP No.76/2001) dan lebih-lebih lagi UU No.32/2004 (beserta PP
No.72/2005) menunjukan bahwa sikap prasangka-desa (Robert Chambers,
1988) atau bahkan anti-desa (Robert Lawang, 2006) masih melekat dalam
esensi kebijakan, di mana berlangsung proses “intervensi negara atas
desa, dan integrasi desa ke dalam negara”.
Perubahan UU saat ini mesti dimulai dari hal-ihwal mendasar yang
bersifat paradigmatis, yakni isu otonomi Desa itu sendiri. Proposisinya
adalah: meski secara umum, pilar desentralisasi dan otonomi saling
terkait, namun khusus dalam kasus Desa terdapat konsekuensi yang
berlainan. Pada level Propinsi dan Kab/Kota, otonomi hanya akan dimiliki
suatu daerah otonom jika didahului desentralisasi kewenangan dari Pusat
(otonomi pemberian), otonomi di Desa bukanlah lantaran adanya
desentralisasi tetapi memang secara nyata sudah ada sehingga yang
dibutuhkan adalah rekognisi negara atas eksistensi Desa (otonomi
pengakuan).
Paradigma keotonomian ini pada gilirannya menentukan kedudukan Desa
dan relasinya dengan Negara, isi kewenangan, desain kelembagaan, dst
Pertama, dalam hal kewenangan Desa, prinsip otonomi tadi mewujud
dalam pengakuan Negara atas esensi kewenangan yang berbasis hak asal-
usul atau adat-istiadat setempat. Kewenangan originair ini melekat pada
hakikat keberadaan desa sebagai self-governing community. Termasuk di
dalamnya adalah kewenangan yang bersumber dari hak ulayat (atas
tanah) yang dari sisi habitat hukumnya tidak terlepas dari keberadaan
komunitas masyarakat hukum adat. Materi muatan asali ini tidak bisa
dicabut oleh Negara/Daerah, lantaran bukan otonomi pemberian yang
bersumber dari otoritas supradesa.
Sementara terhadap Desa-desa yang kehilangan basis keaslian tersebut
atau yang berkategori bukan Desa genealogik (Desa dinas/administratif),
basis kewenangan dalam konteks “otonomi pengakuan” tidak serta-merta
hilang tetapi--mengingat hakikat desa sebagai self-governing community--
materi muatannya berbasis kepentingan spesifik lokal atau inisiatif
masyarakat berdasar prinsip subsidiaritas. Hemat saya, pembahasan soal
sumber alternatif ini patut dilakukan secara serius karena gugatan atas
ketiadaan basis keaslian tadi kerap dijawab pemerintah dengan
penggunaan kriteria eksternalitas yang berorientasi efisiensi (teknokratik)
dalam penyusunan materi muatan kewenangan.
Pada sisi lain, di luar kewenangan pengakuan berbasis otonomi, Desa
juga memiliki kewenangan pemberian yang diberikan dalam kerangka
desentralisasi. Secara teoritik, kewenangan-terdesentralisir ini diberi
melalui dua cara: (1) devolusi, yakni pemberian kewenangan pemerintah
lebih tinggi (Kabupaten) yang “dikonversi” menjadi kewenangan
semiotonom Desa (melahirkan local-self government), dan (2) delegasi,
yakni pemberian urusan/tugas yang menjadikan Desa sebagai local-state
government. Penting dicatat, prinsip desentralisasi kewenangan di sini
mesti bertujuan menambah bobot keotonomian Desa dan dilakukan
melalui kesepakatan Desa dan Pemda, bukan justru pelimpahan beban,
pemberian urusan sisa, atau hanya menciptakan ketergantungan Desa.
Kedua , ihwal kedudukan Desa dan hubungannya dengan Negara/Daerah.
Paradigma baru pembaruan Desa diawali dari membebaskan cara pikir
kebijakan yang menempatkan Desa sebagai miniatur Negara, menjadikan
otonomi Desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah. Proses
penaklukan Desa lewat metoda negaraisasi (state formation) yang
berlangsung keras selama Orba “sukses’ memberangus otonomi Desa dan
menisbikan eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat
(Schiller, 1996).
Dalam tata administrasi publik, kedudukan Desa yang baru berarti
mengeluarkan Desa dari subordinasi organisasi negara, kembali
menempatkannya sebagai entitas politik otonom dan kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki regulasi sendiri dalam mengelola
kehidupan Desa. Dengan kedudukan demikian, formula hubungan Desa-
Pemerintah adalah sebagai mitra setara sehingga urusan dominan Desa
lebih bersumber kewenangan orisinal, sementara devolusi/delegasi kerja
dalam kerangka desentralisasi dari Negara/Daerah mesti didahului proses
“kesepakatan” yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Perda.
Ketiga , dari aspek yuridis, hakikat keaslian dan keragaman otonomi Desa
mewujud dalam legal policy yang pluralis, bukan unifikatif berwujud
standard nasional. Kerangka legal yang pluralis ini tidak hanya diukur dari
bentuk dasar hukum yang pluriform, tetapi juga isi kebijakannya mesti
beresensi pluralis. Konsep pluralisme hukum, yang oleh John Grifiths
dilawankan dengan konsep sentralisme hukum, mensyaratkan hilangnya
tendensi saling mendominasi antara berbagai sistem hukum, yakni antara
sistem hukum Negara dan sistem hukum Desa.
Sementara terkait kedudukan Desa seperti uraian point kedua di atas,
implikasinya terhadap kerangka legal adalah pemisahan dasar hukum
pengaturan Desa dari UU Pemda. Pengaturan Desa yang hanya menjadi
salah satu norma dalam kesuruhan isi UU tersebut menyebabkan
konstruksi dan posisi relasional Desa menjadi bagian Pemda. Dasar
hukum tersendiri ini juga memungkinkan kodifikasi Undang-undang
tentang Desa. Lebih jauh lagi, kedudukan otonom Desa, Peraturan Desa
(Perdes) pun perlu dikeluarkan dari kategori peraturan perundang-
undangan negara.
Keempat , bentuk-susunan penyelenggaraan Desa. Yang utama di sini
adalah posisi Kepala Desa, BPD, Sekdes dan Perangkat Desa lainnya
bukanlah untuk memerintah atau memegang otoritas legal-formal tetapi
menjadi primus interpares yang lejitimasi kepemimpinannya berbasis
kepercayaan dan kepatuhan masyarakat. Dalam konteks ini, mekanisme
elektoral yang dipakai bersifat optional (lewat sistem pemilihan/
demokrasi liberal, sistem musyawarah/ demokrasi komunitarian),
pembatasan periode dan masa jabatan beragam antardesa, dll.
Dalam kaitan itu, klausul pengisian Sekdes dari unsur PNS saat ini mesti
dihilangkan. Bermotif menjaga netralitas dan profesionalisme Sekdes,
klausul ini justru melapangkan jalan birokratisasi Desa yang membawa
dampak ikutan berupa pembengkakan keuangan negara, penghilangan
kearifan lokal dan politisasi yang merusak nilai budaya setempat, selain
memunculkan kecemburuan finansial dan jabatan Kepala Desa maupun
Perangkat Desa lainnya yang juga menuntut status sama. Untuk itu,
pilihan ke depan adalah merubah ketentuan yang ada, Sekdes dijabat
oleh figur swasta yang memenuhi kapasitas manajerial tertentu.
Catatan Akhir
Dalam semangat kembali ke akar, reposisi Desa tidaklah berarti menarik
mundur gerak maju dan modernisasi Desa ke kondisi masyarakat kuno
dan terbelakang. Ikhtiar sejatinya justru membangun basis kehidupan
modern di atas akar keaslian eksistensial kita, sekaligus sebagai fondasi
berdirinya struktur negara-bangsa yang berdaya tahan dalam persaingan
global yang makin ketat. Maka, sikap phobia, prasangka, atau anti-desa
hendaklah dibuang jauh-jauh dari cara pikir kebijakan dalam menata
pembaruan Desa, termasuk lewat penyusunan RUU Desa yang sedang
digodok saat ini.
Banyak elemen pengaturan Desa yang mesti dirunding ulang, tapi
perubahan paradigma pembaruan Desa tidak bisa dilakukan tanpa
terlebih dahulu menyepakati perspektif otonomi Desa itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis swot terhadap peran serta mahasiswa dalam menanggulangi ancaman human trafficking

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH MELALUI KEMITRAAN SELURUH STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANDUNG

Asas Hukum Agraria