TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERDA No.11/2010 DENGAN KEPPRES No.3/1997




DASAR PEMIKIRAN
peran pemerintah dalam melindungi masarakat dari dekadensi moral yg mengancam generasi mendatang sangatlah sentral dalam sistem pelayanan kemasyarakatan karena warga/masyarakat adalah bagian terpenting dari pemerintahan oleh karena itu sangatlah harus jika setiap aspirasi masyarakat harus menjadi wadah sebagai perbaikan dari sistem pemerintahan karena harus ada sinergisitas antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sebagai wujud dari pemerintahan yang baik.
Pemerintahan kota bandung yang mempunyai motto dalam menjalankan roda pemerintahannya yang mempunyai keinginan yang sangat mulia yaitu ingin membentuk daerah kota bandung yang agamis dan semuanya itu saat ini mulai terlihat dengan dibuatnya peraturan-peraturan daerah yang dibentuk berdasarkan keinginan warganya sendiri seperti Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung No. 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol yang mulai berjalan beberapa waktu lalu, ternyata bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia No. 3/1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Hal itu terungkap dalam surat dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada Walikota Bandung Dada Rosada bernomor 188.34/1128/SJ tertanggal 31 Maret 2011.
Surat itu merupakan surat klarifikasi dari Kementerian Dalam Negeri RI atas Perda Kota Bandung No. 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Surat bersifat "Segera" itu, ditembuskan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boedhiono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Menteri Keuangan RI, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, dan Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan.
Dalam surat itu, Gamawan menjelaskan, berdasarkan hasil kajian tim, Perda Kota Bandung No. 11/2010 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepentingan umum. Peraturan lebih tinggi yang dimaksud Gamawan ialah Keppres No. 5/1997, tepatnya pasal 3 ayat (2) juncto pasal 5. Pasal tersebut berbunyi, minuman beralkohol golongan B dan C minuman beralkohol yang produksi, pengedaran, dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Sedangkan dalam pembentukan Perda Miras Kota Bandung disahkan setelah tiga kali pihak pemerintah kota melalui delegasinya berkonsultasi dengan Kementerian Perdagangan. Pelaksanaan teknisnya pun sudah diatur dengan peraturan wali kota.
Dan dalam menerapkan peraturan, perda kota bandung hanya membuat peraturan daerah yang sifatnya hanya sekedar mengawasi dan membatasi peredaran minuman keras di kota bandung dengan memasukkan beberapa point diantaranya yang berkaitan dengan regulasi terhadao jenis minuman beralkohol, Pasalnya, minuman berakohol golongan A saat ini memang didistribusikan secara nasional dan dijual bebas di daerah.
Akan tetapi kita sebagai masyarakat kota bandung sangat menyayangkan karena perda yang disusun sebagai salah satu langkah pencitraan Bandung sebagai kota agamis, justru diintervensi oleh pusat. Betapa tidak minumam beralkohol golongan A memang diperkirakan bisa membuat generasi muda mudah mendapatkan miras murah yang dijual bebas.
Dalam Keppres justru terjadi pertentangan. Di satu sisi, miras Gol. A bebas didistribusikan di daerah sampai ke minimarket yang notabene saat ini sedang menjamur. Seperti diketahui, minimarket saat ini memang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Tidak sedikit yang memilih lokasi di dekat sarana peribadatan, pendidikan dan sarana lain yang justru dilarang dalam keppres itu sendiri.
kita berharap, Wali Kota Bandung dan masyarakat untuk berani mempertahankan perda miras sebisa mungkin. Pasalnya, perda tersebut juga seudah mendapat dukungan dari aparat kepolisian, kejaksaan dan Muspida lainnya. saya berharap kepada Wali Kota Bandung untuk terus maju pantang mundur, karena pada pembahasan dan penetapannya didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat Kota Bandung,"
Artinya Pemkot Bandung hanya berwenang mengatur peredaran, penjualan minuman beralkohol golongan B dan golongan C. Menurut Keppres No. 3/1997, minuman beralkohol golongan B adalah minuman dengan kandungan alkohol atau etanol 5-20 persen, (9-18 persen) , (9-18 persen). Sedangkan golongan C adalah minuman dengan kadar alkohol 20-55 persen.
Sementara, minuman beralkohol golongan A yang diperjualbelikan secara umum, tidak termasuk sebagai barang dalam pengawasan sehingga merupakan barang bebas baik dari sisi produksi, pengedaran, dan penjualan. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman dengan kadar alkohol atau etanol 1-5 persen.
Atas dasar itulah, mendagri juga meminta Wali Kota Bandung Dada Rosada segera menghentikan pelaksanaan Perda Kota Bandung No. 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol. mendagri juga meminta agar Pemkot Bandung segera mengusulkan proses perubahan Perda tersebut kepada DPRD. Pelaksanaan penghentian dan proses perubahan agar dilaporkan kepada Mendagri selambat-lambatnya 15 hari sejak diterimanya surat itu
TINJAUAN HUKUM
Indonesia menganut gagasan supremasi konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament). Konsekuensi dianutnya supremacy of constitution, semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Dalam pendekatan Kelsen ‘stufenbau theory’, hukum positif dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah adalah peraturan terendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Konsekuensi adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dalam praktek ketatanegaraan, secara teoritis semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Secara praktis pengakuan terhadap hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dapat menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan Peraturan Daerah dalam kondisi tidak terdapat penyimpangan substansi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara. Secara filosofis problema ini membawa implikasi pemahaman sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, melahirkan kewenangan constitutional review Peraturan Daerah terhadap konstitusi UUD 1945 secara langsung.
Dalam perspektif ketatanegaraan dalam konteks supremasi hukum dengan semangat memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap bentuk peraturan perundangan-undangan, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang (constitutional review), dalam arti menilai apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang untuk menilai legalitas aturan di bawah undang-undang (judicial review) apakah sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Di samping itu pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan otonomi Pemerintahan Daerah.
ASPEK PENGATURAN PERDA
a. Kedudukan dan Landasan Hukum
Sesuai asas desentralisasi daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur lebih lanjut dengan PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga telah menetapkan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah memerlukan perangkat peraturan perundang‐undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan jenis PUU nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan Ketentuan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), PUU tunduk pada asas hierarki yang diartikan suatu PUU yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya. Sesuai asas hierarki dimaksud PUU merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan dengan PUU yang lebih tinggi. Perda harus didasarkan pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No.10/2004), UUD 1945 yang merupakan hukum dasar dalam PUU (Pasal 4 ayat (1) UU No.10/2004, asas‐asas pembentukan PUU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 137 UU No. 32/2004.
Kedudukan Perda juga dapat ditinjau dari aspek kewenangan membentuk Perda. Pasal 1 angka 2 UU No.10/2004 menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-ndangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD” dan Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat (1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa Perda mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai instrumen kebijakan di daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah namun Perda tersebut pada dasarnya merupakan peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi sebagai istrumen kebijakan untuk penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas hierarki dilaksanakan melalui pembatalan perda oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum. Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya hak untuk menguji Perda tersebut baik secara formal (formele toetsingsrecht) maupun material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam PUU, sedangkan hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu produk hukum isinya sesuai dengan PUU yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Materi Muatan Perda
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU No.10/2004 dan UU No.32/2004. Pasal 12 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal 138 UU No.32/2004, menentukan materi Perda harus memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat khusus dalam tata cara penyusunan Perda yakni mekanisme evaluasi secara berjenjang terhadap Raperda tentang APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU No.32/2004), Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah (Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas Raperda tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan materi Perda dengan PUU yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian Perda dilakukan baik secara vertikal maupun horizontal.
Urgensi Harmonisasi Perda dengan PUU Lain
Harmonisasi PUU adalah proses yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu PUU dengan PUU lainnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki PUU sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut mencakup harmonisasi semua PUU termasuk Perda baik secara vertikal maupun horisontal.
Dalam UU No.10 Tahun 2004 terdapat rambu-rambu yang mengarahkan pada pentingnya harmonisasi PUU untuk semua jenis PUU termasuk Perda. Pasal 5 menentukan PUU dinilai baik apabila telah memenuhi asas peraturan perundang-undangan yang baik antara lain kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan; Pasal 7 tentang jenis dan hierarki PUU; Pasal 6 tentang asas-asas PUU, Pasal 12 tentang materi muatan Perda dan Pasal 15 tentang Prolegda.
Harmonisasi Raperda dengan PUU perlu didukung oleh aturan yang jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa dintergrasikan sebagai syarat formal penyusunan Perda seperti halnya proses pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres termasuk Rinpres yang dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden No.61/2005 tentang Prolegnas.
Dalam Peraturan Presiden No.68/2005 antara lain diatur mengenai pembentukan Panitia Antardepartemen, pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada Menteri dan menteri /pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik perancangan perundang-undangan. Dalam Perpres tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada intinya menentukan bahwa RUU sebelum dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.
Model pengharmonisasian PUU ditingkat Pusat dapat diadaptasi dalam proses penyusunan Perda dan dimungkinkan untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.10/2004 bahwa tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan PPU lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan. Pentingnya pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar selaras dengan pengaturan di DPRD dalam PP No.16 Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut konkordan dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam UU No.27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan ketelitian, kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan PUU yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau bertentangan, serta ketepatan dalam menentukan pilihan-pilihan politik hukum dalam hal ditemukan ketidakcocokan konsepsi rancangan dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip PUU yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya bahwa RPP dibuat untuk melaksanakan UU maka RPP tidak dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU, proses harmonisasi Perda dengan PUU lainnya dan dengan perda lainnya perlu dintegrasikan sejak pembahasan Prolegda dan penyusunan Naskah Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No.10 Tahun 2004 bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Perda yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan Raperda yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dengan catatan Naskah Akademik tidak bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD atau Raperda yang mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya.


Evaluasi Peraturan Daerah oleh Pemerintah (Excecutive Review)
Model pengujian Peraturan Daerah yang kedua dilakukan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri. Pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review, lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah.
Dalam rangka pengawasan pemerintahan terhadap daerah, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-undang Nomo 32 Tahun 2005, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, memberikan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar disampaikan kepada Pemerintahpaling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.Terkait dengan pembatalan Peraturan DaerahPasal 136 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa “Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Kemudian Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Dalam Pasal 145 ayat (3) ditentukan “Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 145 ayat (4) ditentukan “Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”.
Berbeda dengan judicial review Peraturan Daerah yang dilakukan lembaga kehakiman Mahkamah Agung, executive review Peraturan Daerah dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan Departemen Dalam Negeri. Pengujian Peraturan Daerah sebagai kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah. Dalam proses evaluasi Peraturan Daerah oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.
Tindak lanjut pembatalan Peraturan Daerah menurut Pasal 145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Peraturan Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Kemudian, menurut ketentuan Pasal 145 ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
PENDAPAT HUKUM
Bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah yang ditentukan dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah Peraturan Presiden. Dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku”. Namun dalam praktek, pembatalan Peraturan Daerah dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Kekeliruan hukum ini terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Terlebih keliru, Peraturan Daerah yang masuk dalam bidang regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam bidang beschikking. Dengan kata lain, secara yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Peraturan Presiden
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah dapat dikatakan sebagai penggunaan kewenangan yang tidak pada kewenangannya atau pelampau¬an kewenangan (“ultra vires”). Semestinya keputusan pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak menerbitkan PeraturanPresiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan tetap berlaku. Meskipun berdasarkan peraturan perundang-undangan pembatalan PeraturanDaerah dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagai kekeliruan hukum.
Peraturan Daerah merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian terutama oleh pemerintah, karena setiap Peraturan Daerah yang diterbitkan pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah. Adanya kewenangan pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah hendaknya tidak akan menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan pemerintah pusat atas pemerintah daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Peraturan Daerah. Karena tidak sedikit Peraturan Daerah dan isi materinya yang beragam, serta mekanisme terpusat pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah dan Mahkamah Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka perlu pengkajian untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah khususnya pemerintah kota bandung
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah kota bandung No. 11 tahun 2010, dapat dinilai sebagai cacat hukum. Implikasi hukumnya, pemerintah kota bandung dapat mengabaikan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut.
Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap kewenangan Departemen Dalam Negeri dalam menguji Peraturan Daerah yang ditetapkan Kepala Daerah dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) idealnya tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja. Pemerintah pusat idealnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk excecutive review Peraturan Daerah seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung berwenang melakukan judicial review terhadap semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan kalau Peraturan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh Presiden. Ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive review dapat dikatakan sebagai bentuk ketidak konsistenan peraturan perundang-undangan. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan review terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive review Peraturan Daerah.
Terkait ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan pengujian dan pembatalan Peraturan Daerah hanya ada pada Pemerintah melalui Peraturan Presiden apabila Peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila pemerintah kota bandung tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah atau walikota bandung dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 145 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Keadaan demikian memberikan arti bahwa wewenang Mahkamah Agung terkait pembatalan Peraturan Daerah berdasarkan Pasal 145 ayat (6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 terbatas hanya menerima pengajuan keberatan kepala daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tidak berwenang menguji dan tidak berwenang membatalkan Peraturan Daerah. Dalam keadaan demikian dapat dikatakan sebagai disharmoni pengujian Peraturan Daerah, sehingga perlu dilakukan constitutional review ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam menguji Peraturan Daerah.
Dalam UUD 1945, ketentuan uji materiil tidak sebatas pada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang, tetapi juga undang-undang terhadap UUD. Pengujian undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang antara lain menentukan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Apabila amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut berdasarkan Pasal 57 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, akan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, dan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku prospektif ke depan, tidak retrospektif ke belakang. Karena itu, segala perbuatan hukum dan subjek hukum yang sah menurut rezim hukum lama sebelum putusan Mahkamah Konstitusi, tetap harus dianggap sah adanya.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitusionalitas undang-undang, dalam arti menilai apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang untuk menilai legalitas aturan di bawah undang-undang apakah sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Konsekuensi adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dalam praktek ketatanegaraan, secara teoritis tidak memungkinkan adanya uji materil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, langsung terhadap UUD.
Secara praktis pengakuan terhadap hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dapat menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu Peraturan Daerah bertentangan dengan konstitusi UUD. Secara filosofis problema ini membawa implikasi bahwa kondisi demikian dipahami sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, di mana Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dapat terjadi materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari suatu Peraturan Daerah bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Dapat terjadi suatu peraturan perundang-undangan dalam kondisi tidak terdapat penyimpangan substansi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara. Apabila demikian, dalam perspektif praktek ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dapat diberikan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang termasuk Peraturan Daerah terhadap UUD secara langsung. Dalam perspektif demikian, dengan kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung, dibuat suatu undang-undang yang menegaskan kewenangan pengujian semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perspektif praktek ketatanegaraan dalam konteks supremasi hukum dengan semangat memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap bentuk peraturan perundangan-undangan dan kebijakan negara.
Melakukan harmonisasi hukum untuk mengatasi permasalahan Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Harmonisasi hukum tidak hanya terbatas pada harmonisasi fungsionalisasi kewenangan lembaga negara dan doktrin hukum peraturan perundang-undangan, melainkan juga mengintegrasikan pengalaman sosiologis dan nilai-nilai antropologis masyarakat yang masih hidup dan dianut dalam mengelola tertib sosial, ekonomi dan ekologis di masyarakat. Harmonisasi hukum dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik, budaya, dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional.
Saran
Beranjak dari permasalahan di atas, disarankan pentingnya untuk melakukan harmonisasi hukum untuk mengatasi permasalahan Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Harmonisasi hukum tidak hanya terbatas pada harmonisasi fungsionalisasi kewenangan lembaga negara dan doktrin hukum peraturan perundang-undangan, melainkan juga mengintegrasikan pengalaman sosiologis dan nilai-nilai antropologis masyarakat yang masih hidup dan dianut dalam mengelola tertib sosial, ekonomi dan ekologis di masyarakat.
Perpres tentang Tata Cara Mempersiapkan Perda hingga kini belum ditetapkan. Bentuk-bentuk hubungan komunikasi, konsultasi, klarifikasi Raperda antara instansi Pemerintah dengan aparat terkait di daerah yang selama ini diterapkan kemungkinan kurang efektif.
Peran Gubernur dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan kabupatan/kota kemungkinan belum optimal. Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu cermati berbagai persoalan yang kemungkinan bersumber dari sisi Pemerintah yang mempersulit Pemda dalam menyusun Perda, antara lain:
1. PUU yang menjadi landasan atau pedoman Perda dalam menyusun Perda mengalami perubahan atau pergantian yang cepat dan daerah kurang siap menyikapi perubahan tersebut.
2. PUU menjadi landasan atau pedoman bagi daerah dalam menyusunan Perda terlambat diterbitkan.
3. Secara teknis, lingkup PUU yang harus diharmonisasi oleh daerah banyak dan beragam mulai dari UU sampai dengan Peraturan Menteri, sehingga proses harmonisasi Raperda membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak.
4. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat dapat berdampak terjadinya kekeliruan daerah dalam menentukan ketentuan acuan hukum. Hal ini bisa juga terjadi dalam hal terdapat peraturan pelaksanaan yang dipandang tidak sesuai dengan dengan UU pokoknya.
5. Kurangnya sosialiasi peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan persepsi dan pemahaman antara aparatur daerah dengan instansi Pemerintah.
6. Ketidaksiapan Pemerintah dalam menyediakan ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan suatu urusan pemerintahan tertentu dapat mendorong daerah mengambil inisiatif-inisitaf sendiri dengan membuat peraturan atau kebijakan yang dapat bertentangan dengan Peraturan yang ada diatasnya.
7. Pendelegasian pengaturan suatu hal tertentu dalam PUU kepada Perda yang tidak jelas terutama lingkup materi muatan yang diperintahkan untuk diatur Perda, dapat mempersulit daerah dalam menyusun Perda. Pendelegasian pengaturan kepada peraturan daerah yang tidak spesifik menyebut tingkatan Perda dapat berpotensi menimbulkan perselisihan kewenangan dan tumpang tindih pengaturan.
8. Koordinasi antara instansi Pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peraturan daerah kemungkinan belum sinergis dan terpadu.
Sebagai saran dalam rangka harmonisasi Perda dan PUU diharapkan Kementerian terkait yang diberi tugas menangani peraturan daerah agar segara mendesign program dan kegiatan bertahap dan terencana mulai dari kegiatan identifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing daerah, penentuan program penanganan, evaluasi dan monitoring perkembangan mengenai intensitas dan bobot penerapan di semua daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis swot terhadap peran serta mahasiswa dalam menanggulangi ancaman human trafficking

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH MELALUI KEMITRAAN SELURUH STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANDUNG

Asas Hukum Agraria