Analisis swot terhadap peran serta mahasiswa dalam menanggulangi ancaman human trafficking

Dasar pemikiran
Dalam rangka menghadapi era-globalisasi serta perdagangan bebas, sangat banyak sekali permasalahan yang terjadi saat ini hal yang paling mengejutkan adalah dengan semakin meningkatnya angka penjualan manusia yang ternyata angka tertinggi saat ini Jabar menduduki provinsi tertinggi yang terdapat korban trafficking. Sedikitnya ada 746 korban trafficking dari Jabar yang berhasil diidentifikasi sejak tahun 2008. Diharapkan pemerintah lebih proaktif dalam menangani korban - korban trafficking tersebut.
Dalam menangani kasus trafficking tidak hanya mengandalkan dari upaya-upaya hukum saja akan tetapi harus dibarengi dengan pemberian pemahaman kepada masyrakat langsung melalui penyuluhan yang dilakukan dengan harapan supaya masyarakat bisa mengetahui modus operandi dari pada kejahatan trafficking yang tentunya dengan memberikan arahan-arahan diberbagai pihak baik pemerintah dan stakeholder yang ada, oleh karena itu laboratorium social dan pengembangan masyarakat mempunyai keinginan untuk melakukan kegiatan sosial dengan maksud untuk memberikan pengarahan dan mempersempit tindak tanduk dari pada pelaku trafficking dengan mengadakan pelatihan langsung kemasyarakat khususnya kepada kalangan perempuan atau ibu PKK dengan tujuan untuk memutus mata rantai penjualan manusia dari mulai pelaku hingga korban. Pemberian pendidikan pun penting untuk pengetahuan terhadap masyarakat serta membentuk kader – kader muda dengan memberikan pelatihan khusus supaya nantinya mereka bias memberikan suatu advokasi di lingkungannya sendiri dengan dibentuknya posko trafficking maka akan mempersempit pergerakan dari pada pelaku trafficking yang selalu berganti modus operandi supaya agar bias mengkelabui aparat keamanan oleh karena hal itu kita mempunyai maksud untuk membuat suatu cara dengan memberikan penyadaran langsung kemasyarakat dengan menanamkan moralitas serta penguatan agama dengan menjunjung tinggi norma – norma agama sebagai dasar dari keimanan.
PENGERTIAN
Trafficking adalah segala tindakan yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, penindaktanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara di tempat tujuan, perempuan dan anak. (selanjutnya disebut dalam Protokol Trafficking). Dalam protokol ini pengertian trafficking ialah: Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah: untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah:
1. eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual.
2. kerja atau pelayanan paksa.
3. perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan.
4. penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh.
5. Protokol di atas dengan demikian memberikan rumusan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.

Definisi di atas memuat tiga elemen yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya,yakni :
1. eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual
2. kerja atau pelayanan paksa.
3. perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan.
4. penghambaan.
5. pengambilan organ-organ tubuh. Protokol di atas dengan demikian memberikan rumusan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia.

Definisi di atas memuat tiga elemen yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yakni :
Elemen pertama: tindakan atau perbuatan
Rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.
Elemen kedua: dengan cara
Dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang.
Elemen ketiga : tujuan atau maksud
Untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak-tidaknya eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.
Protokol ini juga menambahkan bahwa persetujuan yang telah diberikan oleh korban perdagangan manusia berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan tersebut kehilangan relevansinya (tidak lagi berarti), bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi di atas telah digunakan. Kemudian, setiap tindakan rekruitmen, transportasi, pemindahan, penempatan atau penerimaan seorang anak dengan maksud-tujuan eksploitasi, dianggap sebagai “perdagangan manusia” sekalipun cara-cara pemaksaan atau penipuan yang diuraikan dalam definisi di atas tidak di gunakan. Ini menegaskan kembali bahwa untuk korban perdagangan anak, tanpa terpenuhinya elemen kedua, yakni dengan menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang - orang sudah merupakan sebuah bentuk perdagangan orang.
Dicakupkannya unsur tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan, merupakan pengakuan bahwa perdagangan manusia dapat terjadi tanpa adanya penggunaan kekerasan (fisik). Di dalam dokumen lain yang memuat penjelasan dan penafsiran atas UN Trafficking Protocol, penyalahgunaan kedudukan rentan (abuse of position of vulnerability) haruslah dimengerti sebagai sebuah situasi dimana seseorang tidak memiliki alternatif nyata atau yang dapat diterima, terkecuali untuk pasrah pada penyalahgunaan yang terjadi. Unsur umum dari semua cara yang tersebut di dalam UN Trafficking Protocol adalah terdistorsinya kehendak bebas seseorang. Tipu daya atau penipuan berkenaan dengan apa yang dijanjikan dan realisasinya, yakni mencakup jenis pekerjaan dan kondisi kerja. Berkenaan dengan masalah persetujuan, Trafficking Protocol menetapkan bahwa persetujuan yang telah diberikan korban menjadi tidak relevan (dapat diabaikan) jika cara-cara yang disebutkan dalam protokol tersebut ternyata telah digunakan.
Hal ini sejalan dengan norma-norma hukum internasional yang berlaku dan tidak meniadakan hak terdakwa untuk membela diri sepenuhnya dan juga tidak mengesampingkan berlakunya asa praduga tidak bersalah, yakni sebagaimana dinyatakan di dalam naskah penjelasan ketentuan-ketentuan. Protokol Trafficking tersebut. Lebih jauh lagi, ketentuan dan penjelasan di atas tidak boleh dimengerti sebagai beban korban untuk membuktikan (hilangnya persetujuan). Sebagaimana umumnya, di dalam proses pengadilan pidana nasional dan sesuai hokum nasional yang berlaku, beban pembuktian ada di pundak negara atau Jaksa Penuntut Umum. Namun demikian, begitu unsur-unsur tindak pidana perdagangan manusia telah dibuktikan, pernyataan atau keterangan bahwa orang yang diperdagangkan tersebut telah memberikan persetujuannya menjadi tidak relevan. Namun demikian, di dalam prakteknya ihwal persetujuan kerap menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Karena tatkala seseorang tampaknya telah memberikan persetujuannya terhadap apa yang dalam kenyataan merupakan kerja paksa atau praktek perbudakan, maka muncul argument bahwa orang tersebut telah mengalami perdagangan. Untuk menilai keaslian persetujuan yang diberikan, apakah benar-benar terkesan atau seolah-olah, sejumlah faktor harus dipertimbangkan : Pertama, keputusan bebas mengimplikasikan adanya kemungkinan realistik untuk tidak memberikan persetujuannya, atau tepatnya, menolak melakukan atau menenggang suatu perbuatan tertentu. Jika tidak ada kemungkinan untuk menolak, maka haruslah dianggap tidak ada keputusan yang diambil secara bebas. Persoalan apakah suatu keputusan diambil secara bebas atau tidak hanya dapat dijawab dengan menelaah kekhususan suatu kasus yang mungkin berbeda dengan kasus lainnya. Kedua, persetujuan korban harus diberikan berkenaan dengan semua kondisi yang berkaitan dengan perbuatan. Persetujuan yang sesungguhnya hanya mungkin dan abash di mata hukum, jika semua faktor yang relevan diketahui (dan dimengerti) dan seseorang bebas memilih untuk setuju atau tidak. Jika seorang TKI setuju untuk mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologis tanpa diberitahu bahwa seketika ia dinyatakan lolos dari pemeriksaan itu ia akan menanggung utang kepada PJTKI dan tidak lagi dapat menolak untuk dikirim ke luar negeri sebelum melunasi tagihan hutang ini, maka dalam hal demikian tidak dapat dikatakan telah ada persetujuan yang diberikan secara bebas. Juga patut diingat bahwa pada awal mulanya rekruitmen bisa terjadi secara sukarela namun kemudian mekanisme paksa yang menjebak seseorang masuk ke dalam situasi eksploitatif muncul dalam tahap selanjutnya Jadi, sekalipun seseorang setuju untuk berimigrasi ke luar negeri, menggunakan dokumen palsu, bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh bangunan atau pelacur atau bekerja secara ilegal di luar negeri, kesemuanya ini tidak mengimplikasikan adanya persetujuan orang yang bersangkutan untuk kerja paksa (forced labour or slavery like exploitation) dan tidak meniadakan kenyataan bahwa orang yang bersangkutan telah menjadi korban perdagangan manusia.

EKPLOITASI SEKSUAL

Satu unsur penting dari definisi perdagangan manusia adalah tujuan dilakukannya perbuatan tersebut untuk eksploitasi. Trafficking Protocol hanya mengatur mengenai eksploitasi dalam bentuk melacurkan orang lain (exploitation of the prostitution of others) dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (other forms of sexual exploitation) dalam konteks perdagangan manusia. Pengertian exploitation of the prostitution of others dan sexual exploitation dengan sengaja tidak didefinisikan lebih lanjut. Lebih dari 100 perwakilan negara-negara yang menegosiasikan Trafficking Protocol di Komisi Kejahatan PBB (UN Crime Commission) tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai kedua bentuk definisi ini, dan oleh karenanya mereka membiarkan kedua definisi ini, tidak didefinisikan. Sebagian besar delegasi/ perwakilan negara dan kaukus Hak Asasi Manusia menyadari bahwa tiap-tiap negara memiliki perbedaan hukum dan kebijakan yang beragam mengenai pekerja seks dewasa. Banyak dari negara-negara ini tidak mau dan tidak memiliki kemampuan untuk menandatangani/ menyetujui protocol tentang trafficking ini jika hal ini memaksa mereka untuk mengubah hukum tentang kebijakan prostitusinya.
Namun, sebagian perwakilan dan NGO negara-negara lainnya tetap menginginkan bahwa prostitusi dewasa (termasuk yang sukarela berprofesi sebagai pelaku prostitusi dan bahkan prostitusi legal yang melibatkan orang dewasa) harus didefinisikan pula sebagai trafficking, dan karenanya mereka tetap memperjuangkannya. Mayoritas perwakilan perwakilan negara dan kaukus Hak Asasi Manusia menolak definisi trafficking jika profesi pekerja seks dewasa, pekerja pabrik dan pekerjaan lainnya, dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan yang merusak. Kegiatan tersebut bisa disebut sebagai trafficking ketika kegiatan menunjukkan penyalahgunaan dan eksploitasi seperti halnya yang dikenal dalam dunia internasional sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, kekerasan terhadap buruh/ pekerja, perbudakan dan kerja paksa.
Advokasi yang dilakukan kaukus Hak Asasi Manusia untuk memperjuangkan solusi bersama yang akan mengusahakan semua negara untuk menandatangani Trafficking Protocol, termasuk negara-negara yang telah memiliki hukum pidana dan kebijakan yang mengatur tentang pekerja seks dewasa. Semua negara setuju bahwa trafficking merupakan kegiatan yang bersifat perbudakan, pekerjaan dengan kekerasan/ pemaksaan dan kerja paksa. Namun, karena tidak ada kesepakatan internasional mengenai “eksploitasi seksual”, maka anggota kaukus memasukkan bentuk eksploitasi seksual ini ini ke dalam trafficking, tetapi membiarkannya tidak terdefinisikan secara khusus. Dengan demikian, semua negara dapat menandatangani Trafficking Protocol dan definisi tentang mana yang merupakan kegiatan legal prostitusi yang dilakukan secara sukarela dan yang mana yang merupakan kegiatan prostitusi dengan paksaan dapat diartikan sesuai dan kebijakan negara masing-masing. Hal ini ditujukan untuk mencari jalan tengah definisi mana yang termasuk prostitusi secara sukarela dan prostitusi yang dipaksa di tiap negara yang berbeda-beda dan juga memberikan keleluasaan bagi negara-negara Peserta untuk mengatur lebih lanjut masalah pelacuran di dalam hukum nasional masing-masing. Namun demikian, meskipun tiap-tiap negara memiliki definisi yang berbeda tentang pekerja seks dewasa sukarela dan pekerja seks dewasa yang dipaksa, definisi ini haruslah tercantum dengan jelas dan mengandung aturan yang mengikat yang dapat menghukum pelaku jika terjadi pelanggaran. Khususnya berkenaan dengan pelacuran, unsur paksaan yang termaktub di dalam definisi perdagangan manusia merupakan unsur penentu. Ada tidaknya unsur ini berkaitan dengan (pembuktian) kondisi kerja atau hubungan yang bersifat paksaan, eksploitatif atau memperbudak dan apakah masuknya korban ke dalam kondisi kerja atau hubungan demikian adalah secara bebas serta dengan pengetahuan/ kesadarannya penuh. Jika kesemua unsur tersebut terbukti ada, maka perbuatan tersebut tidak dapat ditelaah sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, namun harus dipandang masuk ke dalam lingkup pengaturan UN Trafficking Protocol.
Eksploitasi seksual dalam protokol ini dapat didefinisikan sebagai : mereka yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, pelayan/ pekerja seks, atau menjadi objek kegiatan pornografi yang dikarenakan oleh ancaman pemaksaan, penculikan diperlakukan dengan salah, menjadi orang yang dijual (debt bondage) atau karena menjadi korban penipuan. Sedangkan eksploitasi dengan melacurkan orang lain dapat didefinisikan sebagai : kegiatan untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang lain dalam kegiatan prostitusi/secara seksual
EKPLOITASI LAINNYA
Sekalipun definisi exploitation tidak kita temukan dalam UN Trafficking Protocol, namu pengertian forced labour or service (kerja paksa), slavery (perbudakan), pratices similar to slavery (praktek lainnya serupa perbudakan), servitude (perhambaan) maupun penjualan organ tubuh, dijelaskan lebih lanjut dalam instrumen-instrumen hukum internasional lain. Ruang lingkup pengertian lain itulah yang harus turut dipertimbangkan tatkala kita mengimplementasikan dan/atau menafsirkan protokol tersebut di atas. Dalam Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa (Forced Labour, 1930) dan Konvensi No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour, 1957) melarang penggunaan kerja paksa. Larangan ini meliputi kerja paksa yang dilakukan oleh badanbadan publik maupun orang perorangan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) mendefinisikan forced labour sebagai “segala bentuk pekerjaan atau pelayanan yang didapat (pelaku) dengan menggunakan tenaga orang yang berada di dalam ancaman hukuman dan orang tersebut bekerja melayani tanpa keinginannya sendiri secara sukarela”.
Dalam pedomannya, ILO telah mengidentifikasi enam unsur yang dapat mengiindikasikan adanya kerja paksa yang kemungkinan besar dikualifikasi sebagai tindak pidana menurut hukum nasional kebanyakan negara, yakni : ancaman dan/ atau penggunaan kekerasan fisik atau seksual, pembatasan kebebasan bergerak, debt bondage/ bonded labour, penangguhan pembayaran atau penahanan upah, penahanan paspor dan surat-surat identitas diri, serta pengancaman pelaporan pekerja pada pihak berwajib. Ketentuan Pasal 1 dari Konvensi Perbudakan tahun 192633 sebagaimana telah diubah oleh Protokol tahun 1953 telah mendefinisikan slavery (perbudakan) sebagai “keadaan (status) dan kondisi seseorang terhadap siapa hak pemilikan (dari orang lain) diberlakukan terhadapnya”. Konvensi Tambahan PBB tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Lembaga dan Pratek yang Serupa Perbudakan tahun 1956,34 secara khusus melarang debt bondage (penggadaian diri sendiri atau utang orang lain untuk pelunasan suatu utang), serfdom (perhambaan), servile forms of marriage (bentuk-bentuk perkawinan tidak setara) dan eksploitasi dari anak-anak maupun orang dewasa. Pengertian debt bondage (penggadaian diri sendiri atau orang lain untuk pelunasan suatu utang) ialah status atau kondisi yang muncul dari digadaikannya layanan jasa-jasa perseorangan, baik dari pihak berutang (debitur) ataupun dari orang-orang lain di bawah kekuasaannya. Pemberian layanan jasa tersebut dilakukan selama utang belum dilunasi sebagai jaminan pelunasan utang tersebut. Namun, dalam hal ini pelayanan jasa tersebut
ternyata tidak diperhitungkan ke dalam upaya pelunasan utang atau jangka waktu kewajiban pelayanan jasa tersebut tidak ditetapkan jangka waktunya. Kemudian, serfdom (perhambaan) yakni status atau kondisi orang (-orang) yang berdiam di atas tanah milik orang lain yang menurut hukum kebiasaan atau perjanjian terikat untuk hidup dan bekerja di atas tanah tersebut dan wajib mengabdi kepada orang tersebut, baik dengan imbalan maupun tidak dan ia tidak bebas mengubah statusnya itu. Servile form of marriage (bentuk-bentuk perkawinan yang tidak setara), yakni setiap lembaga atau praktek dimana : (1) seorang perempuan tanpa hak untuk menolak dijanjikan atau dinikahkan atas pembayaran sejumlah uang atau imbalan lainnya yang diterimakan kepada orangtua, wali atau keluarganya atau orang ataupun kelompok Lainnya; atau (2) suami dari perempuan tersebut kepada orang lain atas bayaran uang atau kebendaan lain; atau (3) seseorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya diwariskan kepada seorang lain. Termasuk yang dilarang juga adalah lembaga/ kultur yang memiliki kebiasaan dimana anak-anak atau orang-orang muda di bawah 18 tahun dikirim oleh orangtua atau orang yang menjaganya kepada orang lain, baik dibayar atau tidak untuk bekerja/ dipekerjakan.
Pengertian trafficking dari pengambilan organ-organ tubuh hanya muncul jika seseorang dipindahkan untuk tujuan pemindahan organ dan protokol ini tidak mengatur jika hanya berupa pemindahan organ (organ yang dipindahkan sudah tidak berada dalam tubuh lagi).

BENTUK PENGERTIAN
Eksploitasi seksual Mereka yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, pelayan/pekerja seks, atau menjadi objek kegiatan pornografi yang dikarenakan oleh ancaman pemaksaan, penculikan diperlakukan dengan salah, menjadi orang yang dijual (debt bondage) atau karena menjadi korban penipuan
Eksploitasi dengan melacurkan orang lain Kegiatan untuk memperoleh uang dan keuntungan lain dari kegiatan melacurkan orang lain dalam kegiatan prostitusi/secara seksual
Forced labour Segala bentuk pekerjaan atau pelayanan yang didapat (pelaku) dengan menggunakan tenaga orang yang berada di dalam ancaman hukuman37 dan orang tersebut bekerja melayani tanpa keinginannya sendiri secara sukarela.
Debt Bondage Debt Bondage (penggadaian diri sendiri atau orang lain untuk pelunasan suatu utang) ialah status atau kondisi yang muncul dari digadaikannya layanan jasa-jasa perseorangan, baik dari pihak berutang (debitur) ataupun dari orang-orang lain di bawah kekuasaannya. Pemberian layanan jasa tersebut dilakukan selama utang belum dilunasi sebagai jaminan pelunasan utang
tersebut. Namun, dalam hal ini pelayanan jasa tersebut ternyata tidak diperhitungkan ke dalam upaya pelunasan utang atau jangka waktu kewajiban pelayanan jasa tersebut tidak ditetapkan jangka waktunya
Serfdom Yakni status atau kondisi orang (-orang) yang berdiam di atas tanah milik orang lain yang menurut hukum kebiasaan atau perjanjian terikat untuk hidup dan bekerja di atas tanah tersebut dan wajib mengabdi kepada orang tersebut, baik dengan imbalan maupun tidak dan ia tidak bebas mengubah statusnya itu.
Servile forms of marriage Setiap lembaga atau praktek dimana : (1) seorang perempuan tanpa hak untuk menolak dijanjikan atau dinikahkan atas pembayaran sejumlah uang atau imbalan lainnya yang diterimakan kepada orangtua, wali atau keluarganya atau orang ataupun kelompok lainnya; atau (2) suami dari perempuan tersebut kepada orang lain atas bayaran uang atau kebendaan lain; atau (3) seseorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya diwariskan kepada seorang lain.
Lembaga/ kultur yang memiliki kebiasaan dimana anak-anak atau orang-orang muda di bawah 18 tahun dikirim oleh orang tua atau orang yang menjaganya kepada orang lain, baik dibayar atau tidak untuk bekerja/dipekerjakan.
Pengambilan organ-organ tubuh Trafficking dari pengambilan organ-organ tubuh hanya muncul jika seseorang dipindahkan untuk tujuan pemindahan organ dan protokol ini tidak mengatur jika hanya berupa pemindahan organ (organ yang dipindahkan sudah tidak berada dalam tubuh lagi).


TRAFFICKING ANAK
Berkenaan dengan anak-anak, yakni mereka yang belum mencapai delapan belas (18) tahun, persetujuan dari mereka harus dianggap tidak relevan, dalam arti tidak perlu dibuktikan. UN Trafficking Protocol menegaskan bahwa sepanjang berkaitan dengan anak-anak sebagai korban, tidak satupun dari cara-cara pemaksaan atau penipuan perlu digunakan untuk membuktikan ada/ tidaknya tindak pidana perdagangan manusia. Setiap perbuatan rekruitmen, transportasi dan seterusnya dari anak-anak dengan tujuan eksploitasi dengan ataupun tanpa persetujuan dari anak yang bersangkutan dan juga dengan tanpa digunakannya paksaan ataupun penipuan, harus dikualifikasikan sebagai tindak pidana perdagangan manusia. Dengan kata lain, hukum sama sekali tidak mentolerir/ mengijinkan anak dalam situasi apapun untuk bekerja dan dipekerjakan untuk tujuan eksploitasi.
Anak-anak hanya disinggung di dalam laporan singkat pada Protokol Bagian 6.4 di bawahnya, padahal pembahasan anak ini banyak direkomendasikan oleh kaukus HAM, Komisi Tinggi HAM, Unicef, Komisi ILO untuk imigrasi, bahwa untuk anak diperlukan sebuah perlindungan hukum khusus. Namun, delegasi gagal untuk melakukan/ merumuskannya dalam protokol ini. Maka itu, untuk mengisi gap mengenai anak di trafficking protokol ini, pemerintah negara-negara haruslah merujuk dan meleburkannya ke dalam peraturan domestik mereka dengan beberapa peraturan dari PBB mengenai Konvensi Hak Anak dalam bagian/ pembahasan mengenai perdagangan anak, anak yang dilacurkan dan dieksploitasi untuk tujuan pornografi serta Konvensi ILO No. C 182 tentang Pencegahan dan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk dari Anak. Dalam Protokol Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak, yakni dalam Pasal 2 dan 3 dinyatakan juga mengenai pengertian trafficking khusus anak, yakni : Penjualan anak berarti setiap tindakan atau transaksi dimana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau kelompok demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Prostitusi anak berarti menggunakan seorang anak untuk aktivitas seksual demi keuntungan dalam bentuk lain. Pornografi anak berarti pertunjukkan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan seksual.
Protokol konvensi ini juga menyatakan bahwa tiap negara harus menjamin bahwa standar minimum, perbuatan dan aktivitas berikut ini dianggap sebagai tindak kriminal atau melanggar hukum pidana, apakah kejahatan tersebut dilakukan di dalam negeri atau antar negara atau berbasis individu atau terorganisir dalam konteks penjualan anak seperti :
1. menawarkan, mengantarkan atau menerima anak dengan berbagai cara untuk tujuan eksploitasi seksual anak, mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan dan keterlibatan anak dalam kerja paksa;
2. penculikan anak untuk adopsi;
3. menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi; dan
4. memproduksi, mengirimkan, menyebarkan mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual atau memiliki untuk tujuan pornografi anak, tujuan eksploitasi seksual anak, mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan dan keterlibatan anak dalam kerja paksa.
Dalam Konvensi ILO No. 18240 pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah :
1. segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata.
2. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno.
3. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Keempat, pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
IDENTIFIKASI FAKTOR KEKUATAN, KELEMAHAN/KENDALA, PELUANG, TANTANGAN/ANCAMAN, DAN STRATEGI
Kekuatan
1. Eksistensi kerjasama antara pemerintah - mahasiswa dalam mengkoordinasikan perencanaan dan penyusunan strategi serta sinkronisasi pelaksanaan strategi di bidang pelaksanaan dan pengawasan.
2. Kemampuan mahasiswa dalam melacak dan menyuarakan Undang-Undang yang melindungi hak perempuan, seperti Peraturan perundang-undangan yang mendukung koordinasi, sinkronisasi, pengendalian dan pengawasan pelaksanaan di bidang kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan dan human trafficking
3. Sistem informasi yang dirintis bersama mahasiswa memudahkan pemantauan dan pengawasan serta akses langsung kemasyarakat dan dapat mempengaruhi masyarakat secara individu.
4. Komitmen bersama untuk memberantas human trafficking dengan setiap stake holder yang ada.
Upaya yang dilakukan untuk mempertahankannya:
1. Dengan legalitas yang ada, perencanaan dikoordinasikan, kebijakan disusun, dan pelaksanaan kebijakan disinkronkan bersama lembaga lain yang terkait.
2. Dengan program pelatihan advokasi diharapkan dapat merubah pola pikir masyarakat serta untuk membangkitkan semangat untuk memberantas trafficking
3. Dengan sistem informasi yang ada diselenggarakan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan perencanaan dan penanggulangan ancaman dengan meningkatkan partisipasi mahasiswa dan pelajar dalam memberikan kontrol sosial.

Kelemahan/Kendala
1. Belum adanya pelatihan kepada masyarakat dalam masalah perdagangan manusia.
2. Belum mantapnya pemahaman masyarakat akibat dampak dari human trafficking.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya:
1. Melaksanakan komitmen agar pelaksanaan tugas dan fungsi menjadi konsisten.
2. Memperkuat kapasitas sasaran melalui kerjasama antar element.
3. Meningkatkan kerjasama melalui pelaksanaan Rencana Strategis.
4. Melakukan suatu penyuluhan dan pelatihan advokasi kepada masyarakat dan pelajar
5. Membuat suatu pelatihan character building ditingkat pendidikan
6. Melakukan suatu kaderisasi ditiap – tiap kecamatan se jawa barat.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya:
1. Melaksanakan koordinasi yang efektif dan efisien untuk mengoptimalkan partisipasi mahasiswa dan masyarakat.
2. Sistem informasi yang ada dapat diakses oleh masyarakat dan BPPKB dalam upaya melakukan sosialisasi human trafficking serta dampak dari bahaya trafficking kepada masyarakat
3. Hasil pengendalian dan pengawasan dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mempersempit gerakan pelaku trafficking dan mengantisipasi ancaman.

STRATEGI
Untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang, serta dalam rangka menanggulangi kendala/kelemahan maka strategi yang digunakan dalam menyelenggarakan koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan, sinkronisasi pelaksanaan perencanaan, pengendalian pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan perencanaan di bidang human trafficking adalah:
1. Koordinasi
Sesuai tugas dan fungsi koordinator, maka kegiatan koordinasi merupakan kegiatan inti yang dilaksanakan. Kegiatan koordinasi harus bersifat aktif dan tidak menunggu. Oleh karena itu, untuk terwujudnya sinkronisasi dalam maka koordinasi harus dilakukan.
2. Sosialisasi
Agar seluruh program sosialisasi human trafficking dan penanggulangan ancaman dapat diketahui dan dipahami oleh pelajar serta anggota masyarakat, maka kegiatan sosialisasi perlu diselenggarakan. Kegiatan sosialisasi program pemberdayaan perempuan dan keluarga berencaba ini diselenggarakan bukan hanya agar diketahui dan dipahami namun dimaksudkan untuk memberikan pemahaman serta pelatihan advokasi kepada masyarakat dan pelajar di lingkungannya serta diharapkan dalam pelaksanaannya pelatihan ini bias sinergis sehingga dapat terwujud adanya jawa barat yang bebas dari bahaya trafficking, sejahtera, maju dan mandiri sebagaimana diharapkan. Di sisi lain kegiatan sosialisasi ini diselenggarakan untuk mendapatkan suatu persepsi yang sama sehingga masing-masing komponen baik mahasiswa maupun masyarakat berperan serta sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
3. Pembentukan Kelompok masyarakat Keberadaan kelompok masyarakat atau tim pada hakekatnya adalah membantu dalam proses kegiatan pemberantasan human trafficking. Oleh karena itu, dalam rangka terselenggaranya kegiatan koordinasi, sinkronisasi, pengendalian dan pengawasan, maka pembentukan kelompok masyarakat atau tim yang terdiri dari berbagai komponen sangat diperlukan. Di samping itu, kelompok kerja juga merupakan suatu forum koordinasi dan sinkronisasi untuk saling memberikan informasi sehingga diperoleh suatu persamaan persepsi yang dapat melancarkan terwujudkan kesejahteraan rakyat dan penanggulangan korban sejak dini.
4. Pengkajian
Kegiatan pengkajian dilakukan dengan menganalisis hasil pelaksanaan perencanaan atau melalui hasil pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan program yang diselenggarakan pihak terkait sebagai bahan masukan dalam mengkoordinasikan dan menyusun perencanaan, serta sinkronisasi pelaksanaan perencanaan selanjutnya.
5. Advokasi
Bagaimanapun baiknya suatu strategi yang disusun oleh kalangan internal, tanpa mendapat masukan dari pihak eksternal maka pelaksanaan strategi belum dapat mengantisipasi secara baik berbagai kendala di depannya. Pada prakteknya bahwa pelaku trafficking saat ini adalah daerah dan masyarakat, oleh karena itu maka kegiatan advokasi dalam bentuk pemberian masukan, arahan, penyamaan persepsi, kesepakatan atau pembimbingan perlu dilakukan dalam pelaksanaan pelatihan advokasi ke masyarakat dan pelajar.
6. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dilakukan untuk mengetahui apakah program atau kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Dari kegiatan monitoring akan diperoleh masukan atau informasi yang sebenarnya tentang pelaksanaan program atau kegiatan di tingkat lapangan. Dengan diketahui hasil pelaksanaan perencanaan melalui monitoring maupun evaluasi, maka akan mempermudah pengendalian dan pengawasan pelaksanaan perencanaan dalam menangani masalah trafficking.
7. Fasilitasi
Kegiatan koordinasi dan sinkronisasi dapat berjalan efektif dan efisien, antara lain jika terdapat fasilitasi dan kemudahan ataupun pelayanan terhadap program yang diselenggarakan oleh lembaga kemahasiswaan dengan adanya dukungan dan bantuan dari BPPKB dan pemerintah daerah supaya untuk mempermudah proses sosialisasi.
8. Data & Informasi
Untuk dapat terselenggaranya koordinasi dan sinkronisasi sehingga pelaksanaan program di tingkat lapangan berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka kelompok masyarakat yang dikoordinasikan perlu didukung dengan data dan informasi yang berkaitan dengan trafficking dan penanggulangan ancaman. Data dan informasi diperlukan sebagai bahan penyusunan rencana, selain itu data dan informasi yang akurat juga sebagai alat koordinasi.
9. Pemberdayaan
Dalam upaya meningkatkan terwujudnya kegiatan koordinasi dan sinkronisasi maka seluruh jajaran di lingkungan perlu didorong untuk meningkatkan kinerjanya dalam proses sosialisasi dan pengintegrasian program BPPKB. Upaya mensinergikan kekuatan di dalam lingkungan secara intensif adalah sebagai bentuk pemberdayaan yang perlu dilakukan untuk mengkoordinasikan dan menyinkronkan secara internal penyelenggaraan program di lingkungannya masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH MELALUI KEMITRAAN SELURUH STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANDUNG

Asas Hukum Agraria